BONGANCINA SEBELUM TAHUN 1900 AN
Desa Bongancina, Kecamatan
Busungbiu, Kabupaten Buleleng, terletak di ketinggian kurang lebih 900 meter
dari permukaan laut, sehingga memiliki
suhu udara yang sejuk, terletak +/- 12 km di sebelah barat Pupuan, pada
lintasan menuju Surabrata, Kecamatan Selemadeg, Tabanan. Sebelum pemerintah
Belanda mengijinkan kembali membuka hutan lindung di desa Bongancinai pada 7 Juli 1907. Sebelum tahun ini desa Bongancina sudah pernah dihuni. Tetapi penduduk ketika itu
tidak bisa bertahan, karena lahan pertanian mereka diserang oleh hama semut , sehingga penduduk mengungsi ke arah timur ke desa Galiukir, Kecamatan
Pupuan. Juga ada yang ke Tegalasih. Hal ini terlihat dari fakta, dimana sampai saat ini bila diadakan
piodalan di Pura Desa & Puseh Bongancina, keturunan dari bekas penduduk
yang kini sudah tinggal di desa Galiukir, datang untuk ”ngaturang bhakti” ke
Pura tersebut.
Menurut penuturan tetua desa jenis
semut yang menyerang adalah jenis semut rangrang. Juga dari penuturan tetua-tetua
desa, desa ini pernah dihuni oleh orang Tionghoa, hal ini terlihat dari
penemuan penduduk berupa perhiasan, gerabah, keramik, serta daun gender kuno,
di beberapa tempat. Mereka juga meninggalkan desa ini, karena tidak tahan
dengan serangan hama semut .
Ada beberapa versi mengenai "Nama Bongancina". Sebuah presasti di desa Sukawana, Kintamani ada menyebutkan nama Bungancina, juga disebut nama Bukit Kuntul (Kutul, yang terletak di desa Pucaksari sekarang, yang merupakan desa induk Bongancina, pada saat pembukaan hutan di tahun 1900 an). Ada juga yang menyatakan kata Bongancina berasal dari "Buungan Cina", karena penduduk Cina tidak jadi bermukim disana dan pindah ke Tegalasih (disebelah desa Bongancina sekarang). Juga diduga berasal dari kata BONGanCINA (Kuburan Cina). Pernah ada seorang warga Tionghoa yang datang dari Jakarta, untuk melihat keberadaan desa Bongancina dan Pura Ratu Patih. Entah karena petunjuk mimpi atau sebab lain. Diduga Bongancina pernah menjadi desa tujuan, pada saat pertama kali orang Tionghoa menginjakkan kakinya di Bali.
Pura Ratu Patih
DIHUNI KEMBALI
Pada awal tahun 1900 an pemerintah
Belanda mengijinkan penduduk untuk membuka hutan lindung di daerah Kutul (kini desa Pucaksari dan Sepang, Kecamatan
Busungbiu, termasuk pembukaan hutan di pelemahan Bongancina (waktu itu masih merupakan Banjar dari Desa
Kutul). Menghadapi beratnya medan,
binatang buas dan sulitnya menebang pohon-pohon besar dengan peralatan
seadanya, diperlukan adanya semangat persatuan, kerjasama, saling membantu, dan
semangat setia kawan diantara penduduk. Karena itu beberapa orang cikal bakal
pendiri desa Bongancina, yang tinggal dalam satu lokasi di palemahan Bongancina Tua yang terdiri dari keluarga I
Dewa Made Mayus, I Dewa Putu Kereped, I Dewa Nyoman Bajing, I Dewa Putu Darta,
I Gusti Putu Siama dan I Gusti Made Tama, berikrar :
1) Siapa yang berada di rumah, agar menjaga keluarga yang
lainnya. Siapa yang berselingkuh agar tidak menemukan keselamatan (Katanya : Pada saat
itu terdengar suara Guntur menggelegar).
2) Siapa yang ”nyetik” (meracun), neluh, nerangjana
(menggunakan ilmu hitam), mencelakai teman lainnya, agar tidak menemukan
keselamatan. (Pada saat itu terdengar suara burung tuu-tuu). (Kutipan dari Penglintih peninggalan keluarga I Dewa Putu
Kereped).
1 2 Monumen Tri Yudha Sakti, Singaraja
PURA RATU PATIH
Pada saat pembukaan hutan, penduduk
belum mampu mendirikan Pura Kahyangan Tiga, oleh karena itu cikal bakal pendiri
desa yang tersebut diatas beserta cikal bakal penduduk yang lain yang tinggal
di lokasi yang berbeda, mendirikan bebaturan sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, tempat memuja beliau untuk tempat memohon agar penduduk bisa selamat
tidak terserang binatang buas dan terhindar dari serangan hama semut . Pura
tersebut kemudian dikenal dengan nama Pura Ratu Patih (Nama ini diberikan oleh
orang yang kesurupan pada saat dilaksanakan piodalan). Pura ini pernah dipugar
tahun 1978 dan dipenghujung tahun 2009 dilaksanakan pemugaran kembali yang
dilaksanakan oleh para Pengempon Pura
yang jumlahnya +/- 85 KK.. Pembangunan Tahap Pertama diselesaikan
diawal tahun 2010 dan pada tanggal 12 Januari 2010, dilangsungkan upacara
pemelaspasan, yang dipuput oleh Ida Pedanda Griya Jagaraga dan dihadiri juga
oleh Muspika Kecamatan Busungbiu.
Tanggal 3 Mei 2015, Senin Wuku Sinta
(Banyu Pinaruh), Purnama Desta diadakan pemelaspasan alit sehubungan ada
perbaikan pada Padmasana, ”aturan”
seorang tapakan dari Pejeng, Gianyar. Sebelumnya beliau menderita sakit dan
setelah tangkil di Pura Ratu Patih penyakitnya sembuh. Hal yang cukup unik pada
pemelaspasan alit ini, ada pemedek yang kerawuhan (kesurupan), menelungkupkan
badannya ke tanah dan menirukan suara seekor naga. Menurut penuturan pengempon
yang tinggal di sekitar pura, memang masih sering didengar seperti suara naga
pada hari-hari tertentu. Disamping suara itu, pasca revolusi 1945 juga sering
didengar derap kuda dimalam hari. Pernah suara derap kuda itu dikejar, tetapi
suaranya menghilang dipesiraman pura. Yang unik juga ada pemedek yang
kerawuhan, menyampaikan agar setiap tanggal 17 Agustus, diadakan
persembahyangan dan bendera merah putih dikibarkan. Memang pasca revolusi 1945,
”munduk” (daerah ketinggian), sepanjang desa Bongancina, Desa Belatungan sampai
ke Surabrata, merupakan desa basis perjuangan.
Perwakilan Pejuang Markas Besar Markas Cabang Kusuma Yadnya, Bongancina
(di Monumen Tri Yudha Sakti, Singaraja)
PERAN PURA RATU PATIH
Disaat pembukaan hutan, Pura ini
digunakan sebagai tempat ”ngaturang bhakti” dan tempat memohon keselamatan agar
penduduk tidak mendapat halangan dalam membuka hutan.
Pada masa Revolusi phisik (1945 –
1949), Pura ini juga digunakan oleh para pejuang, sebagai tempat untuk memohon
perlindungan. Desa Bongancina merupakan
desa basis perjuangan di daerah ”Buleleng Barat (atas)” (istilah yang digunakan
untuk wilayah desa : Bongancina, Tista, Sepang dan Pucaksari) dimana Markas
Besar Oemoem (MBO) Markas Cabang Kusuma
Yadnya, yang juga mencakup pejuang desa Belatungan Kecamatan Pupuan, Kabupaten
Tabanan, dibawah komando: I Dewa
Putu Dhanu (Pak Sundih) yang menghimpun
para eksponen pejuang dari desa Bongancina dan desa di sekitarnya .
Mereka yang dimasukkan ”bui”
(penjara) di Banyumala, Singaraja oleh Belanda dan dibebaskan setelah pengakuan
kedaulatan Republik Indonesia oleh
Belanda tahun 1949 adalah : I Dewa Nyoman Perte (Pak Gampang), I Dewa Ketut
Sawit, I Dewa Nyoman Kaler (Pak Sekian), I Dewa Putu Dhanu (Pak Sundih), I Dewa Made Landra (Pak Kelana), I Dewa Made Dhana (Pak Teruna), I Dewa
Ketut Rai Melayang, Dewa Made Ribut, Dewa
Nyoman Mandri (Pak Bebas), Dewa Ketut
Tjandri, Dewa Made Regeg, Dewa Putu Sarka, Dewa Made Gumbreg (Pak Setiawan), Dewa Made Tantra (Pak Sedar), Dewa Nyoman
Bemben, I Dewa Ketut Arka (Pak
Kasmaya), Dewa Nyoman Semadi, I Gusti
Putu Suta (Pak Kusuma), pejuang dari desa Tista (I Nyoman Kaler), dari desa Sepang
(I Ketut Sandi), dari Kerobokan (I Wayan
Sulandra), dan dari desa Belatungan (Kecamatan Pupuan), Dewa Putu Putra (Pak
Tenang). (Prasasti untuk Markas Besar Macab Buleleng Barat Kusuma Yadnya, yang memuat Nama Perwakilan Pejuang,
tertera di Monumen Perjuangan Tri Yudha Sakti, di Sangket, Sukasada,
Singaraja). (Istilah Pak XXXXXXX adalah Nama samaran yang bersangkutan pada
waktu perjuangan).
Pada saat tentara Nica dan ”gandek”nya (sebutan untuk orang pribumi
yang menjadi kaki tangan Belanda), melakukan pembakaran rumah penduduk di desa
Bongancina tahun 1946, maka penduduk mengungsi ke Yeh Sibuh, desa Belatungan,
Kecamataan Pupuan. Pembakaran rumah penduduk dibarengi juga dengan penyisiran terhadap pejuang oleh
tentara Nica. Pada waktu itu pejuang memperoleh ”petunjuk” agar berlindung di
Pura Ratu Patih yang jaraknya hanya tiga meter dari jalan raya. Entah karena
kebetulan atau memang karena para pejuang memperoleh perlindungan serara
”niskala”, semua pejuang selamat pada saat penyisiran itu. Hanya saja dalam dua
pertempuran yang lainnya, lima orang pejuang desa Bongancina gugur, yang kemudian
oleh penduduk didirikan Tugu Perjuangan Panca Wirapati, untuk mengenang perjuangan
beliau, yang diresmikan oleh Bupati Drs. Ketut Wirata Sindhu. Para pejuang yang
gugur tersebut adalah :
1. I Dewa
Nyoman Nesa
2. I Dewa
Nyoman Jebot
3. I Dewa
Nyoman Latera
4. I Dewa
Nyoman Tegeg
5. I Dewa
Ketut Gateri
1.4 Tugu Perjuangan Panca Wirapati, Bongancina
PURA RATU PATIH SEBAGAI LOKASI MEDITASI ?
Pura Ratu Patih terletak di
ketinggian (munduk), sehingga pada pagi hari disaat udara cerah semua desa di
sebelah timur Bongancina, Gunung Batukaru dan Gunung Agung nampak dengan jelas.
Menginjakkan kaki di pelataran pura, terasa ada vibrasi positif terpancar di
area itu. Beberapa bulan setelah upacara pemelaspasan, ada seorang bhakta
penekun spiritual dari Denpasar, datang ke Pura tersebut. Beliau datang kesana
dituntun oleh mimpinya Beliau terkesan dengan keberadaan Pura Ratu Patih.
Pada saat persembahyangan pada waktu
bulan Purnama atau Tilem seperti yang biasa juga dilaksanakan di Pura-Pura yang
lain, masyarakat dari desa sekitar ada juga yang ikut menghaturkan bhakti, malahan
ada yang datang dari luar Kabutaten. Seorang penekun spiritual dari Karangasem
yang setelah lama mencari keberadaan Pura ini, juga ikut sembahyang disana.
Sedangkan paranormal kondang Ki Gendeng Pamungkas ketika lewat disebelah desa
Bongancina menyempatkan diri juga untuk melaksanakan meditasi di Pura Ratu
Patih.
Akankah dikemudian hari Pura Ratu
Patih menjadi pilihan para penekun spiritual untuk melaksanakan meditasi ?.
Astungkara.
Compiled by : I Dewa Putu Sedana,
BACA JUGA :
BACA JUGA :
Kumandang Lagu 108 Bajra |
Babad Dalem Kaleran |
Ganesha Dewa Penangkal Rintangan |
Istilah Spiritual Dasar |
Preti Sentana Prabu Kalianget 1 |
kangen saya pernah kkn di desa bongancina tahun 1996
BalasHapusPengempon Pura Ratu Patih menjadi bagian dari pelaksanaan Upacara 108 Genta. Artikelnya bisa browsing dg judul yg sama. Mksh
Hapus