KETUHANAN AGAMA SHINTO (3)




Konsep Ketuhanan
Dewa Matahari atau Amaterasu Omikami adalah bagian yang paling menarik karena paling banyak disebut dalam pembahasan tentang agama Shinto namun nyaris tidak mudah “ditemukan” dalam situasi riil. Perwujudan dewa ini bisa ditemukan dalam sejumlah buku ataupun lukisan kuno namun tidak akan kita temukan di setiap kuil Shinto. Menariknya agama ini tidak mengenal tradisi pemujaan patung, jadi altar utama kuil tidak akan ditemukan gambar ataupun arca apapun apalagi gambar dewa Matahari. Satu satunya kuil yang  khusus dibangun untuk menghormati dewa ini hanyalah kuil Ise Jingu  yang  merupakan kuil milik keluarga kerajaan.
Hubungan antara Kami dengan manusia menurut konsep Shinto juga cukup unik. Tuhan hidup di laut, sungai, sawah dll atau dengan kata lain hidup tidak jauh dari kehidupan mereka sehari hari. Jadi Tuhan bagi mereka adalah bagian dari kehidupan yang tidak terpisahkan. Mikoshi  atau Dashi misalnya sebagai perwujudan dari kereta bagi Kami, yang digotong beramai ramai selama festival di kuil mungkin adalah salah satu contoh menarik. Simbul Tuhan atau “Kereta Tuhan” ini tidaklah diarak dengan hormat dan khidmad namun diguncang guncangkan, dibenturkan, dibenamkan ke laut serta dinaiki beramai ramai bahkan diduduki pada bagian atapnya oleh beberapa orang selama proses prosesi.
Dewa-dewa dalam agama Shinto jumlahnya tidak terbatas, bahkan senantiasa bertambah, hal ini diungkapkan dalam istilah “Yao-Yarozuno Kami” yang berarti “delapan miliun dewa”. Menurut agama Shinto kepercayaan terhadap dewa yang tak terbatas tersebut justru dianggap mempunyai pengertian yang positif. Sebuah angka yang besar berarti menunjukkan bahwa para dewa itu memiliki sifat yang agung, maha sempurna, maha suci dan maha murah Disamping mempercayai adanya dewa-dewa yang memberi kesejahteraan hidup, mereka juga mempercayai adanya kekuatan gaib yang mencelakakan, yakni hantu roh-roh jahat yang disebut dengan Aragami yang berarti roh yang ganas dan jahat. Jadi dalam Shintoisme ada pengertian kekuatan gaib yang dualistis yang satu sama lain saling berlawanan yakni “Kami” versus Aragami (Dewi melawan roh jahat).


Ada tiga hal yang terdapat dalam konsepsi kedewaan agama Shinto, yaitu :
  1. Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi dari gejala-gejala alam itu dianggap dapat mendengar, melihat dan sebagainya sehingga harus dipuja secara langsung.
  2. Dewa-dewa tersebut dapat terjadi (penjelmaan) dari roh manusia yang sudah meninggal.
  3. Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit  yang  berdiam di tempat-tempat suci di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia.
Dewi matahari Shinto disebut Tensho Daijin yang juga dikenal dengan Amaterasu Omikami. Amaterasu adalah Ratu dari seluruh “Kami”, ia adalah anak dari Izanagi dan Izanami (Dewa Pencipta dari mitologi Jepang. Menurut catatan sejarah tertua, Kojiki (Catatan tentang Hal-hal Kuno) dan Nihon Shoki (Sejarah Negeri Jepang), Amaterasu  adalah pemimpin mahkluk gaib dan juga leluhur dari keluarga kerajaan. Dalam banyak tulisannya, Nichiren Daishonin memandang Tensho Daijin sebagai personifikasi dari perbuatan-perbuatan yang melindungi kemakmuran orang-orang yang memiliki hati kepercayaan dalam Hukum Sejati.”
Para dewa-dewi Shinto disebut “Kami”, juga terdapat dalam Gohonzon. Adapun beberapa dewa-dewi, mahkluk gaib, roh-roh, yang dipuja dalam Shinto antara lain: Naga (mahkluk berupa ular), Dosojin, Ebisu (salah satu dewa keberuntungan Jepang), Dewa Hachiman, Henge, Kappa, Kitsune (Roh Srigala), Oinari (Roh Srigala), Shishi (Singa), Su-ling (Empat Binatang Pelindung), Tanuki (Sejenis Dewa


Kuil-Kuil Shinto.
Kuil Shinto sangat banyak,  lebih dari 100.000 di Jepang. Dalam kuil tidak ada citra/patung yang dipuja, tapi dianggap bahwa Kami sendiri ada di sana. Makanan segar, air, dupa dll, dipersembahkan setiap hari di altar. Ada kepercayaan batin mengenai kesucian dari seluruh alam semesta, dan bahwa manusia dapat selaras dengan kesucian ini. Tekanan diberikan pada kebenaran dan penyucian melalui mana manusia dapat menghilangkan “debu” yang menyembunyikan kesuciannya yang melekat pada dirinya dan dengan demikian menerima bimbingan dan karunia dari Kami.
Kuil Shinto (jinja) adalah struktur permanen dari kayu yang dibangun untuk pemujaan berdasarkan kepercayaan Shinto. Tidak semua kuil Shinto adalah bangunan permanen, sejumlah kuil memiliki jadwal pembangunan kembali. Bangunan di Ise Jingū misalnya, dibangun kembali setiap 20 tahun.
Pada zaman kuno, walaupun tidak didirikan bangunan, tempat-tempat pemujaan Shinto tetap disebut jinja (kuil Shinto). Pada masa itu, kekuatan alam yang ditakuti seperti gunung (gunung berapi), air terjun, batu karang, dan hutan merupakan objek pemujaan. Kuil Shinto berbentuk bangunan seperti dikenal sekarang, diperkirakan berasal dari bangunan pemujaan yang dibuat permanen setelah didiami para Kami yang pindah dari goshintai (objek pemujaan). Kuil Shinto tidak memiliki aula untuk beribadat, dan bukan tempat untuk mendengarkan ceramah atau menyebar luaskan agama. Pada zaman sekarang, kuil Shinto dipakai untuk upacara pernikahan tradisional Jepang.
Kuil Shinto bermula dari altar (himorogi) yang dibangun sementara untuk keperluan pemujaan di iwakura (tempat pemujaan alam) atau tempat tinggal para Kami yang dijadikan tempat terlarang dimasuki manusia, pada umumnya shintaisan (gunung tempat tinggal para Kami). Ada pula kuil yang hanya membangun haiden di depan iwakura atau gunung/pulau yang terlarang dimasuki manusia (misalnya: Kuil Ōmiwa, Kuil Isonokami, Munakata Taisha). Sebagian dari kuil Shinto sama sekali tidak memiliki bangunan, misalnya Kuil Hirō di Kumano Nachi Taisha. Setelah dibuatkan bangunan permanen, para Kami sehari-harinya dipercaya selalu ada di dalam kuil Shinto. Bangunan permanen dalam kuil Shinto juga diperkirakan sebagai hasil pengaruh agama Buddha yang selalu memiliki bangunan untuk menyimpan patung Buddha.
Berdasarkan alasan yang tidak diketahui, penganut Shinto kuno mendirikan bangunan di tempat yang berdekatan dengan goshintai yang sudah dipuja sebelumnya secara turun temurun. Bangunan Kuil Koshikiiwa misalnya, dibangun berdekatan dengan iwakura. Ketika dirasakan perlu untuk mendirikan bangunan kuil, misalnya ketika mendirikan desa, penduduk memilih tempat yang dianggap suci sebagai tempat pemujaan ujigami atau bunrei.



Berdasarkan alasan pendirian bangunan, kuil Shinto dibagi menjadi tiga jenis:
  1. Bangunan kuil yang didirikan berdasarkan alasan sejarah (seperti di tempat yang berkaitan dengan kelahiran sebuah klan, atau di tempat yang berkaitan dengan tokoh yang disucikan, misalnya Tenmangū di Dazaifu),
  2. Bangunan kuil yang didirikan di tempat yang telah disucikan.
  3. Bangunan kuil yang didirikan di tempat yang mudah dicapai orang. Kuil Nikkō Futarasan misalnya, berada di puncak gunung hingga perlu dibangun kuil cabang di lokasi yang mudah didatangi.
Bangunan kuil dapat dibangun di mana saja, mulai dari di tengah laut, di puncak gunung, hingga di atap gedung bertingkat atau di dalam rumah dalam bentuk kamidana. Pada saat ini, Ise Jingu merupakan salah satu contoh kuil agama Shinto yang masih menyelenggarakan matsuri dalam bentuk pembacaan doa yang eksklusif bagi kalangan terbatas dan peserta umum tidak dibolehkan ikut serta.

Artikel selanjutnya :
Kepala pendeta disebut gūji, tugasnya memimpin upacara, mengelola manajemen keuangan kuil, dan bertanggung jawab atas keseluruhan urusan kuil.................. ). Karena itu agama Shinto sering dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan  pensucian dan diakhiri dengan pensucian. ........... Dalam teologi agama Shinto dikenal empat unsur dalam matsuri: penyucian (harai), persembahan, pembacaan doa (norito), dan pesta makan ......... Festival dan Matsuri yang lain : Festival Salju Sapporo (Sapporo, Prefektur Hokkaido, bulan Februari), Festival Salju Iwate (Koiwai Farm, Shizukuishi, Prefektur Iwate, bulan Februari) ............

Compiled : I Dewa Putu Sedana, 

Belum ada Komentar untuk "KETUHANAN AGAMA SHINTO (3)"

Posting Komentar

Add