TANTRA, PEMUJAAN KEPADA SHAKTI (1)

 



Bila kita mendengar kata Tantra, Tantrisme, Tantrayana, Bhairawa, umumnya imaginasi kita akan melayang kepada Calon Arang, Nateng Dirah, Pesta di kuburan tengah malam, pesta sex dan hal-hal lain yang menyeramkan. Apakah Tantra, Tantrisme, Tantrayana itu memang suatu ajaran rohani yang menyeramkan, menjijikkan, kita akan lihat konsep dasarnya kemudian perkembangannya dan apakah kini Ajaran Tantra itu masih ada yang melaksanakan, bagaimana bentuknya sekarang.

Pengertian Tantra

Tantra dari kata akar dari bahasa Sansekerta kuno yang  berarti “Memperluas,  bergabung atau menenun,menjalin” dan Tra berarti “alat.” Untuk memperluas, membebaskan, dan membawa bersama-sama. Tantrik Yogi Rhames Ji Maharaja, mengatakan, ajaran Tantra adalah sebuah pengetahuan yang mengajarkan tentang inti kehidupan, karena  Tantra sebagai salah satu jalan yang dapat menuntun manusia untuk mencapai Moksa. Tantra secara sederhana berarti buku atau ajaran. Awalnya semua jenis buku disebut tantra. Yang kemudian berkembang dan disebutkan bahwa Tantra merupakan jenis teks Shaiwa. Tantra merupakan salah satu dari sekian banyak konsep pemujaan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, di mana manusia kagum pada sifat-sifat ke-Maha-Kuasaan-Nya sehingga manusia memiliki keinginan untuk mendapatkan kesaktian. Melalui pelaksanaan sādhanā pūjā, bhakti dan metode yang lainnya seseorang bisa mengelola alam dan kekuatan Tuhan sesuai dengan keinginannya. Semua metode sādhanā pada hakekatnya adalah Tantra. Kata ini dalam Śāstra dijelaskan sebagai berikut ”Jika seseorang mengetahui mantra secara mendetail dan juga penggunaannya maka ia bisa menggunakannya untuk melindungi orang-orang dari ketakutan dan melakukan kebaikan untuk mereka”

Subramuniyaswami, Satguru Úivaya 1997, mengatakan bahwa “Tantra adalah bagian dari çaktisme, yaitu pemujaan kepada Ibu semesta. Dalam proses pemujaannya, para pemuja ‘çakta’ tersebut menggunakan mantra, yantra, tantra, yoga, dan puja serta melibatkan kekuatan alam semesta dan membangkitkan kekuatan kundalini.” Disebut çaktiisme karena yang dijadikan obyek persembahannya adalah çakti. Çakti dilukiskan sebagai Devi, sumber kekuatan atau tenaga, Energi dari bala atau kekuatan. Pada sisi lain çakti juga disamakan dengan energi atau kala. Ajaran tantra mengacu kepada kitab-kitab yang pada umumnya berhubungan dengan pemujaan kepada çakti (Ibu semesta; Devi Durga, Devi Kali, Parwati, Laksmi, dan sebagainya), sebagai aspek Tuhan yang tertinggi dan sangat erat kaitannya dengan praktek spiritual dan bentuk-bentuk ritual pemujaan, yang bertujuan membebaskan seseorang dari kebodohan, dan mencapai pembebasan. 

Sejarah Tantra

Ajaran Tantra ini pertama kali diturunkan oleh Śiva dipegunungan Himalaya, tempat salju abadi, daerah yang suci yang penuh dengan tradisi bangsa ĀryaŚiva menurunkan ajaran-ajaran-Nya di sana, kemudian dicatat di dalam berbagai Yāmala, Dāmara, Śiva Sutra, dan diberbagai pustaka Tantra yang disusun dalam bentuk tanya jawab di antara dewata dengan Shakti-Nya, yaitu dewī yang mewujudkan diri-Nya sebagai Pārvatī  dan dikenal dengan Tantra Shastra.  Menurut catatan Gayatri Tantra, Ganesha yang pertama kali mengajarkan Tantra itu kepada dewayoni di Gunung Kailāsa, setelah Ganesha sendiri menerimanya langsung dari Śiva..

Dasar-dasar paham Tantra sebenarnya telah ada di India sebelum bangsa Arya datang di India, jadi sebelum kitab Weda tercipta. Pada masa itu, di peradaban lembah Sungai Sindu, cikal-bakal paham Tantra telah terbentuk dalam praktik pemujaan oleh bangsa Dravida terhadap Dewi Ibu atau Dewi Kemakmuran.  Aliran ini memusatkan pemujaan terhadap Devi/Dewi sebagai Ibu Bhairawa (Ibu Durga atau Kali). Prinsip-prinsip Tantra terdapat dalam Nigama, sedangkan praktik-praktiknya dalam buku Agama.

Tantra dalam perkembangannya sering menggunakan simbul-simbol material termasuk simbul-simbol erotis. Tantra sering diidentikkan dengan ajaran kiri yang mengajarkan pemenuhan nafsu seksual, pembunuhan dan kepuasan makan daging. Padahal beberapa perguruan Tantra yang saat ini mempopulerkan diri sebagai Tantra putih menjadikan; mabuk-mabukan, makan daging dan hubungan seksual sebagai sadhana dasar pantangan dalam meniti jalan Tantra. 

Masuknya Saktiisme, Tantrisme dan Bhairawa di Indonesia dimulai sejak abad ke 7 melalui kerajaan Sriwijaya di Sumatera, berasal dari India selatan dan Tibet. Dari peninggalan purbakala dapat diketahui ada tiga macam Bhairawa yaitu : Bairawa Heruka yang terdapat di Padang Lawas-Sumatera barat, Bhairawa Kalacakra yang dianut oleh Kertanegara, raja Singosari-Jawa Timur serta Oleh Adhityawarman pada zaman Gajah Mada di Majapahit dan Bhairawa Bhima di Bali yang arcanya kini ada di pura Kebo Edan-Bedulu Gianyar.

MIRAS DALAM TRADISI BALI, Klik di sini

Ajaran Tantra

Ketika zaman Mahabaratha, Tantra diketahui oleh seluruh raja dan penguasa kerajaan sebagai pengetahuan rahasia. Dalam ajaran Tantra tidak memandang sesuatu itu kotor, baik ataupun buruk. “Dalam Tantra semua hal yang diciptakan Tuhan adalah baik.  Tidak ada hal yang buruk dalam Tantra. Tantra juga tidak mengkotak – kotakkan hal baik dan buruk. Yang ada hanya kita sebagai manusia dengan sudut pandang berbeda memandang Tantra berbeda beda.

Tantrayana mengenal adanya meditasi dengan menggunakan alat berupa mandala (bagi penganut Buddha) atau yantra (bagi penganut Hindu), yakni lukisan yang berfungsi sebagai alat bantu dalam meditasi sehari-hari. Alat tersebut—dibuat dari tanah, kain, pada dinding, logam, atau batu—harus digunakan oleh mereka yang mencari pelepasan dari rangkaian siklus (lingkaran) kelahiran kembali. Penggunaan mandala/yantra ini biasanya dibarengi dengan memegang aksamala (tasbih atau rosario) oleh tangan kanan untuk menghitung mantra yang diucapkan terus menerus hingga kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa bebas dari keadaan di sekitarnya. Tantrayana mengajarkan agar badan, perkataan, serta pikiran digiatkan oleh ritual, mantra, dan samadi.

Tantra adalah jalan spiritual dan dipraktekkan dengan udara kesucian. Sejak Tantra dipraktekkan sebagai upacara spiritual, karena dengan semua bentuk ibadah spiritual, ada sikap mengakui dan menghormati (menyembah) Ilahi. Praktek seksualitas suci berawal dari budaya kuno yang dikenal  bangsa Lemurians dengan maksud mengubah pikiran duniawi, perasaan, dan energi menjadi lebih tinggi, spiritualisasi, pengalaman pribadi dari kesatuan dengan semua yang ada, yang dipraktekkan hingga saat ini. Selain seksualitas suci, ada juga  penyembuhan dengan getaran, aromaterapi, dan spiritualitas. Mereka hidup selaras dengan tubuh dan jiwa dan menghormati aspek kreatif dari konsepsi maskulin dan feminine. Tantra ini bisa dibilang seni tertua seksualitas suci. Kisah nyata tentang asal-usul Kama Sutra (seni bercinta India) ditulis oleh seorang pria mulia yang melihat kehidupan  terdiri dari dharma (substansi spiritual), artha (zat keuangan), dan kama (zat sensual). Kama dikatakan “kenikmatan objek yang sesuai dengan panca indera, dibantu oleh pikiran, bersama dengan jiwa.” Tujuan dari kama adalah untuk menumbuhkan cinta dan hormat untuk seseorang dengan siapa kesenangan Tantra terjalin. Berbeda dengan agama Hindu pada umumnya, sebagian dari Tantra percaya kepada kenikmatan hidup material.

Dalam tulisan-tulisan Tantra, Energy seksual dan spiritual seorang wanita yang sering disebut sebagai shakti. Dalam tradisi Hindu, Dewi/Shakti merupakan prinsip atau energi perempuan. Meskipun Shakti adalah kekuatan perempuan, kekuatan ini berada baik pada perempuan maupun laki-laki. Perempuan dipandang sebagai “wali/wakil” darie energi shakti. Menurut tulisan-tulisan Tantra kuno, kekuatan shakti tak terbatas. Setelah terbangun, kekuatan spiritual, energik, dan seksual ini dapat disalurkan secara kreatif.


Praktisi tantra memanfaatkan prana (energi semesta) yang mengalir di seluruh alam semesta (termasuk dalam badan manusia) untuk mencapai  tujuan  yang  diharapkan.  Tujuan  itu bisa berupa tujuan material, bisa pula tujuan spiritual, atau gabungan keduanya. Setelah kebangkitan, Shakti  bangkit  di tulang belakang untuk bertemu Shiva, pasangan laki-lakinya, bersama energi gabungan keduanya menciptakan "fusi kimiawi" yakni kebahagiaan. Jadi dalam Tantra, pasangan pria dan wanita berfungsi untuk mewakili lebih besar proses kreatif universal, sebagai hubungan antara pasangan yang mensimulasikan kreasi dari Shakti dan Siwa.

Jika laki-laki tidak terlatih dalam seni bercinta, air akan memadamkan api. Dengan demikian, kelembutan  menghasilkan (Yin) dan dapat menaklukkan yang keras (Yang), seperti pepatah "sungai yang mengalir menaklukkan bagian tersulit dari batu.". Ini mengajarkan bahwa seksualitas suci adalah cara memperdalam keintiman dan memperluas kesadaran, cara untuk mencapai kebebasan dari keterbatasan.

Menurut Tantra ada tiga urat saraf yang paling penting, yaitu Sushumna, Ida dan Pinggala, mulai dari Muladhara Chakra, di dasar tulang belakang. Sushumna adalah yang paling penting dari semua saraf, atau Nadi, dan ia tidak kelihatan dan sangat halus. Ia bergerak melalui jaringan pusat dari tulang belakang dan bergerak jauh sampai titik paling atas dari kepala. Ida dan Pinggala bergerak paralel dengan Sushumna di sebelah kiri dan kanan dari saraf tulang belakang. Ida dan Pinggala bertemu dengan Sushumna di Ajna Chakra, titik yang terletak antara alis mata.

Ada kekuatan hebat yang sangat rahasia di dalam tubuh manusia yang disebut kekuatan Kundalini atau kekuatan ular.  Ia berbaring seperti seekor ular dalam gulungan atau bentuk yang tidak aktif pada dasar dari tulang belakang di Muladhara chakra. Tiga dari saraf yang paling penting dari tubuh manusia, Sushumna, Ida dan Pinggala, juga berawal dari titik yang sama disebut Muladhara chakra. 

Karena kekuatan yang hebat ini tetap tidur ‘dormant’ selama kehidupan seseorang maka kebanyakan orang tidak menyadari keberadaannya. Dipercayai bahwa ketika manusia mengembangkan spiritualitas dengan meditasi atau latihan pranayama, kekuatan ini bangkit ke atas perlahan-lahan melalui saraf Sushumna. Bergeraknya ke atas secara perlahan dari kekuatan Kundalini ini dikenal sebagai kebangkitan dari Kundalini. Kekuatan ini begerak ke atas secara perlahan-lahan dan mantap dalam satu garis lurus. 

Ketika melewati setiap pusat batin ‘psychic center’ orang itu akan memiliki kendali penuh atas organ-organ indriyanya. Misalnya, bila ia mencapai Manipura Chakra di seberang pusar, orang itu akan mempunyai kendali penuh atas pandangan. Tidak ada Samadhi “persatuan dengan Tuhan” yang dapat dilakukan tanpa kebangkitan kekuatan kundalini. Dikatakan bahwa kekuatan kundalini melewati keenam chakra dan akhirnya bersatu dengan Sahasrara di atas “tiara, crown” dari kepala. Ketika ini terjadi orang tersebut telah mencapai kesadaran kosmis, bentuk tertinggi dari pengejawantahan Tuhan

Para Tantrika ini memuja Brahma, tetapi sistem pemujaannya itu dilakukan sedemikian rupa, dan banyak prinsip-prinsip dan praktek-prakteknya sangat dirahasiakan. Tantra mengajarkan suatu brata yang patut dilakukan yang disebut dengan ‘Pancatattwa’ yang terdiri dari : (1) Matsya ‘memakan ikan’,(2) Mamsa ‘memakan daging’, (3) Madhya ‘meminum minuman yang menghangatkan badan’, (4) Maithuna ‘melakukan hubungan seks yang benar’, dan (5) Mudra ‘melakukan sikap tangan yang mengandung kekuatan gaib.

 


Sesungguhnya Pancatattwa ini adalah rasional dan alamiah serta mengandung filosofi yang dalam. Pada prinsipnya Pancatattwa ini merupakan suatu filosofi hubungan bhuwana agung dan bhuwana alit yang mengandung nilai selaras, serasi dan seimbang. Kendatipun demikian, namun penerapan Pancatattwa ini sering menyimpang dari filosofinya, dikarenakan oleh kelemahan  manusia menghadapi pengaruh sad ripu, sehingga seringkali Pancatattwa itu diartikan sebagai Mahakamapancikam yaitu pemenuhan lima macam nafsu yang amat besar.

 

BACA JUGA, KLIK DIBAWAH INI :

1.     Tantra, Pemujaan Kepada Çakti (2)

2.     Antakarana Sarira, Badan Penyebab

3.     Bali Dimata Raffles

4.     Kaliyuga, Ramalan Joyoboyo, Sabdopalon

5.     GelombangOtak Untuk Meditasi

Belum ada Komentar untuk "TANTRA, PEMUJAAN KEPADA SHAKTI (1)"

Posting Komentar

Add