CANDRA SENGKALA (SENGKALAN)

 

Warisan Budaya Hindu di Jawa (1)


Yang diatas ini bukanlah Sengkalan,  tetapi Misi Gubernur Provinsi Bali,  perioda 2019 – 2024,  yang ditulis menggunakan huruf Bali (saudara kembar Huruf Jawa),  "NANGUN SAT KERTHI LOKA BALI " Yang maknanya :

Melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana Menuju Bali Era Baru

“Menjaga Kesucian dan Keharmonisan Alam Bali Beserta Isinya,

 Untuk Mewujudkan Kehidupan Krama Bali Yang Sejahtera dan Bahagia, Sakala-Niska

 

SENGKALAN (CANDRA SENGKALA) SIMBOLISASI ANGKA TAHUN

Dalam ramalan Jayabaya misalnya disebutkan, bahwa Yen wis teko “Pandito Ambuka Wiwaranging Neroko “ ( Candra sengkala 1997 Saka, 2075 Masehi). Nusantara akan carut marut,  mendapat bebendu atau bencana. Nusantara mengalami bencana ekonomi yang sangat besar menandai awal datangnya jaman Kalabendu. Bumi Jawa akan mengalami kemakmuran kembali diakui dan dihormati oleh dunia bila tahun Candra Sengkala terbaca “Pendhawa Mulat Sirnaning Pengantin." ( Candra sengkala 2025 Saka = 2103 Masehi)"

 

Jika selama ini kebanyakan kita lebih mengenal Nostradamus sebagai peramal yang menyembunyikan ramalan-ramalannya melalui berbagai simbol dan syair, maka sebenarnya para waskita di Jawa pun melakukan hal serupa. Candrasengkala merupakan simbolisasi dari angka tahun, bahkan kadang menggambarkan watak/karakter dari tahun itu sendiri.  Candrasengkala berasal dari dua kata yaitu 'candra' yang berarti 'pernyataan' dan 'sengkala' yang berarti 'angka tahun'.  Literatur Barat menyebut simbolisasi angka tahun ini sebagai Chronogram. Penggunaan rangkaian kata-kata yang ditujukan untuk mewakili bilangan, atau lazim disebut kronogram, tidak hanya dimiliki oleh budaya Jawa. Kronogram berdasar bahasa Sanskerta dan didasarkan pada tahun Çaka dapat ditemui tersebar di Indonesia, India, Kamboja, dan Vietnam. Namun kronogram di Jawa mengalami perkembangan yang berbeda. Di Kamboja dan Vietnam, kronogram hanya menggunakan bahasa Sanskerta dan merujuk pada tahun Çaka. Hanya di Jawa kronogram diadaptasi sehingga dibuat menggunakan bahasa Jawa dan merujuk pada tahun yang lazim digunakan di Jawa. "Orang-Orang dengan Kemampuan Supranatural Sungguh Ada", mereka-mereka yang memiliki indera keenam secara alami biasanya akan menyampaikan penglihatan mereka dengan cara yang santun dan jauh dari kesan menakut-nakuti. Misalnya chronogram berikut ini : My Day Closed Is In Immortality adalah  chronogram untuk memperingati wafatnya  Queen Elizabeth I dari Inggris. Huruf besar terbaca  MDCIII (angka Romawi), yang menunjukkan tahun 1603, tahun kematian Ratu  Elizabeth.

Tiga serangkai Matahari, Bumi, dan Bulan merupakan konfigurasi penting dalam kehidupan manusia. Mereka mendasari penanggalan dan pewaktuan hingga manusia dapat mengatur aktivitas kehidupan di dunia. Candrasengkala adalah kronogram Jawa yang memakai sistem perhitungan bulan, berupa kalimat atau susunan kata-kata yang mempunyai waktak bilangan untuk menyatakan suatu angka tahun, dengan menyebut lebih dahulu angka satuan, puluhan, ratusan, kemudian ribuan. jadi  merupakan rumusan tahun dengan kata-kata, yang setiap kata melambangkan angka, dibaca darii depan dan ditafsirkan dari belakang; seperti sengkalan yang menandai runtuhnya kerajaan Majapahit, “Sirna Ilang Kertaning Bumi”. Kata sirna mewakili bilangan 0, ilang juga mewakili bilangan 0, kerta mewakili bilangan 4, sedang bumi mewakili bilangan 1. Jika dibalik maka akan terbaca 1400 Saka (1478 Masehi) sebagai bilangan tahun. Kata sirna sendiri berarti lenyap, ilang berarti hilang, kerta dapat diartikan sebagai kemakmuran,  bumi berarti dunia. Dengan demikian maka “Sirna Ilang Kertaning Bumi” dapat diartikan sebagai "lenyapnya kemakmuran di bumi (Jawa)". Berdasarkan susunan benda pada kalimat yang bersangkutan, sengkalan kemudian dapat diwujudkan dalam bentuk visual menjadi gambar yang melambangkan suatu tahun spesifik. Deretan kata sengkalan selain sebagai simbol angka tahun juga merupakan simbol konsep-konsep magis tradisional dalam kepercayaan masyarakat. Simbol-simbol ini dapat dipahami maknanya jika dianalisis secara semiotik. Simbol nilai kata yang terdapat dalam sengkalan. Ada yang langsung menunjukkan angka, tetapi ada juga yang secara tidak langsung menunjukkan angka karena nilai angka tersembunyi dan harus ditelusuri asal mulanya. Biasanya nilai angka yang tersembunyi merupakan kosa kata serapan dari bahasa Sansekerta. 

Prabu Jayabaya

Kata sengkalan secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Sakakala yang berarti tahun Saka. Saka adalah nama bangsa dari India yang pernah datang ke pulau Jawa dan mengajarkan bermacam-macam ilmu pengetahuan, diantaranya huruf Jawa dan sengkalan. Konon tahun Saka dimulai ketika Raja Saliwahana atau Ajisaka naik tahta pada tahun 78 Masehi, (tetapi ada juga tulisan lain yang menyatakan Tahun 1 Saka dimulai ketika pertama kalinya Aji Saka menginjakkan kaki di Pulau Jawa,)  Dalam tradisi Jawa biasanya tahun dihitung menggunakan peredaran bulan, yang dalam bahasa Jawa disebut , candra. Bermula dari sinilah kemudian susunan kata-kata menjadi rangkaian kalimat panjang yang menjadi penanda tahun tersebut,  disebut  Candra sengkala. Sengkala atau sengkalan merupakan  sandi penulisan tahun dengan kalimat yang tiap kata atau bendanya merupakan perlambangan dari suatu angka. Berdasarkan susunan benda pada kalimat yang bersangkutan, sengkalan kemudian dapat diwujudkan dalam bentuk visual menjadi gambar yang melambangkan suatu tahun spesifik. Penggunaan sandi ini, secara umum dikenal sebagai kronogram, dapat ditemukan dalam beberapa budaya Asia Tenggara termasuk salah satunya dalam budaya Jawa dan Bali. Penunjukan dan pemaknaan  dalam  Sengkalan tersebut didasarkan menurut  watak  (nilai) setiap kata atau kalimat yang masing-masin bermakna angka tertentu   

BHAIRAWA SEKTE MISTIK, Klik di Sini

Sengkalan boleh memakai kalender Saka, Masehi, Islam, atau Jawa. Penggunaan kata-kata sebagai pengganti bilangan membuat sengkalan tidak hanya menjadi penanda waktu, namun juga memiliki kemampuan untuk menghadirkan motto, harapan, gambaran situasi, atau suasana batin atas peristiwa yang ditandai. Sengkalan paling tua yang pernah ditemukan di Indonesia terdapat pada prasasti Canggal di Gunung Wukir, Kedu Selatan. Prasasti itu menceritakan tentang Raja Sanjaya, salah satu raja dari kerajaan Mataram Kuno. Sengkalan tersebut ditulis dalam bahasa Sansekerta, berbunyi “Syruti Indrya Rasa”:, yang bermakna angka tahun 654 Saka  (732 Masehi). Bilangan tahun yang disebutkan sengkalan harus dimaknai secara tepat berdasar peredaran tahun yang digunakan.


JENIS SENGKALAN

Jika sengkalan dinyatakan dalam “tahun bulan” ( rembulan/lunar/qomariah/candra ) maka sengkalan itu disebut Candra Sengkala. Candra sengkala terdiri dari dua kata yaitu Candra yang artinya bulan dan Sengkala yang artinya angka tahun.  Sedangkan jika dinyatakan dalam “tahun matahari“ ( solar/syamsyiah/surya ) maka sengkalan itu disebut Surya Sengkala. Candra Sengkala digunakan pada sengkalan yang merujuk pada tahun Jawa, sedangkan Surya Sengkala merujuk pada tahun Çaka. Pada perkembangannya, saat tahun Çaka sudah tidak digunakan lagi dan masyarakat lazim menggunakan tahun Masehi sebagai penanda waktu, suryasengkala merujuk pada tahun Masehi.

Candi Penataran

Sengkalan menurut jenisnya dibagi menjadi tiga jenis yaitu

1.  Sengkalan Memet. adalah Sengkalan yang berbentuk gambar, ukiran, relief, patung dan bentuk-bentuk semacamnya yang bermakna angka tahun. Contoh dari Sengkalan ini adalah Candrasengkala Dwi Naga Rasa Tunggal yang berbentuk dua ekor naga besar yang masing-masing ekornya saling membelit. Candrasengkala ini terletak di Regol Kemagangan di Keraton Kasultanan Yogyakarta yang merupakan peringatan tahun berdirinya Keraton tersebut yaitu tahun 1682. Sengkala berupa gambar dikatakan memet atau rumit karena dari segi pembacaannyapun harus diartikan dalam kalimat dahulu baru diangkakan.

2. Sengkalan Lamba adalah Sengkalan yang berbentuk kalimat yang bermakna angka tahun. Dikatakan lamba (lombo) lantaran pembacaan angka tahun melalui kalimat lebih mudah dibandingkan sengkala berupa gambar.  Sengkalan lamba mempergunakan kata-kata yang sederhana , misalnya "Buta Lima Naga Siji".   Buta berwatak 5, lima berwatak 5, naga berwatak 8, dan siji berwatak 1, setelah digabung menjadi 5581, lalu dibalik, berarti tahun 1855. Sengkalan miring merupakan sengkalan lamba juga, tetapi mempergunakan kata-kata miring (padanan), yang lebih rumit daripada  sengkalan  lamba.  Misalnya sengkalan "Lungiding Wasita Ambuka Bawana ". Kata “Lungid” berarti tajam; yang dimaksud adalah tajamnya senjata (gaman ), gaman mempunyai watak 5. Kata “Wasita” berarti pitutur jati , atau nasihat suci; pitutur jati berkaitan dengan resi, wiku , atau pandhita yang berwatak 7. Yang dimaksud dengan kata “Ambuka”,  adalah lawang atau gapura  yang berwatak 9, dan kata “Bawana” maksudnya adalah bumi yang berwatak 1. Diperoleh angka 5791, yang berarti tahun 1975.

3. Sengkalan Sastra. Sengkalan yang menggunakan huruf Jawa dan sandangannya biasa digunakan pada ukir-ukiran, hiasan keris, dan lain sebagainya.

 

BACA JUGA :ej

SSejarah Tahun Saka (2)

2 History of Java - Raffles 1

3 Bahasa dan Sastra Jawa, Raffles 6

4.Ramalan Prabu Jayabaya

5.Kaliyuga, Ramalan Jayabaya, Sabdopalon

 

SUMBER :

Nusadwipa, Begawan Ariyanta, www//Budies.info,  Gubuge Ki Lurah Petruk, Guruberguru, Kaskus, Kompasiana, Padepokan Walang Semirang, Sang Agni, Temu Konco, Wikipedia

Belum ada Komentar untuk "CANDRA SENGKALA (SENGKALAN)"

Posting Komentar

Add