CANDRA SENGKALA, SEJARAH TAHUN SAKA (2)

 

AJISAKA DAN PRABU DEWATA CENGKAR

Setelah Prabu Dewata Cengkar dari kerajaan Medang Kemulan dapat memenangkan perang melawan Kerajaan Galuh, yang diperintah oleh ayahnya sendiri, Prabu Watugunung, Pesta untuk memeriahkan kemenangan tersebut dimulai. Prabu Dewata Cengkar dengan tidak sengaja  memakan potongan jari juru masak  yang jatuh kedalam makanan. Dia teringat kegemarannya di masa lalu yaitu memakan daging manusia. Setelah acara usai, Prabu Dewata memerintahkan Arya Tengger untuk mencari daging manusia yang akan dijadikan santapannya. Mula-mula yang dijadikan santapan adalah para narapidana. Setelah di penjara narapidana penghuninya habis tak tersisa, berganti ke para pemuda kampung. Dewata Cengkar merasa bosan dan meminta Arya Tengger mencari daging wanita muda. Sebenarnya rakyat Medang Kamolan sudah hampir habis karena banyak yang berbondong-bondong pergi meninggalkan Medang. Kemulan. Mereka meninggalkan Medang karena merasa takut jikalau mendapatkan giliran menjadi santapan Dewata Cengkar berikutnya. Arya Tengger dan Ruda Peksa merasa kebingungan kemana mereka harus mencari. Beruntung salah seorang anak buah Ruda Peksa menemukan ada seorang wanita muda bernama Roro Cangkek di rumah Kaki Grenteng. Arya Tengger meminta para prajurit untuk terus mengawasi rumah Kaki Grenteng, jangan sampai Roro Cangkek lolos.

 

 

Prabu Siliwangi


Di sisi lain ada seseorang bernama Ajisaka datang menuju Jawa bersama dua orang abdinya, Dora dan Sembada. Mereka bermaksud datang ke Jawa untuk menyebarkan agama. (Cerita lain menyatakan Ajisaka adalah Raja dari Negara Surati (sekarang masuk wilayah India) yang bernama Jaka Sengkala atau Aji Saka melarikan diri dari Negaranya akibat kalah perang dan kemudian menetap di Pulau Jawa) Sebelum menginjakkan kaki di tanah Jawa, mereka singgah di Nusa Majedi (Pulau Bawean). Ajisaka melanjutkan perjalanan menuju tanah Jawa hanya bersama Dora. Sembada ditinggal di Nusa Majedi untuk menjaga barang-barang terutama keris pusaka Ajisaka. Ajisaka berpesan kepada Sembada, “Keris yang dititipkan jangan sampai diserahkan kepada siapapun kecuali Ajisaka sendiri yang mengambilnya”. Saat Ajisaka dan Dora sampai di tanah Jawa, mereka heran karena rang-orang berbondong-bondong pergi meninggalkan Medang. Sepertinya mereka ketakutan. Ajisaka melanjutkan perjalanan dan sampai di suatu rumah. Mereka singgah di tempat itu. Rumah itu adalah rumah Kaki Grenteng. Dengan pintu terbuka Kaki Grenteng sekeluarga menerima kehadiran mereka. Keesokan harinya, prajurit Medang datang ke rumah Kaki Grenteng untuk membawa Roro Cangkek yang akan  dijadikan santapan bagi Dewata Cengkar. Para prajurit mendobrak pintu rumah dan membawa paksa Roro Cangkek. Ayah dan ibu tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah dibuat pingsan oleh para prajurit dengan benda keras. Dora juga tidak bisa berbuat sesuatu karena sudah dalam keadaan terikat. Ajisaka yang masih bebas dengan kecerdikannya berusaha mengelabui para prajurit. Ajisaka mengatakan bahwa Roro Cangkek mempunyai penyakit menular. Para prajurit berhasil dikelabui dan melepaskan Roro Cangkek. Sebagai gantinya Ajisaka dihadapkan kepada Prabu Dewata Cengkar. Ajisaka menyampaiakan bersedia dikorbankan, dengan permintaan  diberikan sebagian wilayah Kerajaan Medang Kemulan sebesar sorban ikat kepalanya. Sang Prabu menyetujuinya. Lalu,Aji Saka menggelar sorban ikat kepalanya di tanah. Tanpa disangka oleh orang-orang, ternyata Sorban Aji Saka itu besar sekali. Besarnya membentang dari istana, perkampungan, hutan, gunung, sampai lembah Ngarai. Karena itu,seluruh wilayah Medang Kemulan menjadi miliknya. Prabu Dewata Cengkar pun marah besar.Ia pun bertarung dengan Aji Saka. Tiba-tiba, sorban Aji Saka melilit tubuh Prabu Dewata Cengkar. Meskipun bertubuh besar,Prabu Dewata Cengkar yang sudah meronta-ronta tidak bisa melepaskan diri. Ia pun ditenggelamkan ke Laut Selatan.

 

FISIKA QUANTUM, MENEMBUS RUANG DAN WAKTU,Klik Disini

 

SEJARAH TAHUN SAKA

Sejarah Tahun Saka ini dimulai sekitar tahun 70-an Masehi atau abad pertama Masehi. Tahun Saka berasal dari India.  Kelahiran Tahun Saka bermula dari peperangan suku-suku bangsa di India.  Ketika itu suku bangsa Saka benar-benar bosan dengan keadaan permusuhan itu.  Arah perjuangannya kemudian dialihkan, dari perjuangan politik dan militer untuk merebut kekuasaan menjadi perjuangan kebudayaan dan kesejahteraan. Karena perjuangan mereka cukup berhasil, maka suku bangsa Saka dan kebudayaannya benar-benar memasyarakat. Menurut buku A History of India, pada 125 SM dinasti Kushana dari suku bangsa Yuehchi memegang tampuk kekuasaan di India. Mereka terketuk oleh perubahan arah perjuangan suku bangsa Saka yang tidak lagi haus kekuasaan itu. Kekuasaan yang dipegangnya bukan dipakai untuk menghancurkan suku bangsa lainnya, namun kekuasaan itu dipergunakan untuk merangkul semua suku-suku bangsa yang ada di India dengan mengambil puncak-puncak kebudayaan tiap-tiap suku menjadi kebudayaan kerajaan (negara). Pada 79 Masehi, Raja Kaniska I dari dinasti Kushana dan suku bangsa Yuehchi mengangkat sistem kalender Saka menjadi kalender kerajaan. Jadi tahun 79 Masehi identik dengan tahun 1 Saka. Sejak itu, bangkitlah toleransi antarsuku bangsa di India untuk bersatu padu membangun masyarakat sejahtera. Akibat toleransi dan persatuan itu, sistem kalender Saka semakin berkembang mengikuti penyebaran agama Hindu.

 

Hindu masuk ke Nusantara sekitar abad ke-4 Masehi. Rupanya banyak kerajaan di Nusantara tertarik menggunakan kalender Saka yang berpedoman pada peredaran bulan dan matahari.  Sementara di Nusantara berkembang ceritera mengenai tahun Saka antara lain : Ketika itu seorang Raja dari Negara Surati (sekarang masuk wilayah India) yang bernama Jaka Sengkala atau Aji Saka melarikan diri dari Negaranya akibat kalah perang dan kemudian menetap di Pulau Jawa. Ceritera lain menyebutkan  tahun Saka dimulai ketika Raja Saliwahana atau Ajisaka naik tahta pada tahun 78 Masehi, (dan  ada tulisan lain yang menyatakan Tahun 1 Saka dimulai ketika pertama kalinya Aji Saka menginjakkan kaki di Pulau Jawa,). Di Pulau Jawa, Aji Saka memperingatinya sebagai tahun 1 Saka yang ditandai dengan kalimat Kunir Awuk Tanpa Dalu (kunyit busuk tanpa malam). Diceritakan Aji Saka kemudian menyebarluaskan ilmu astronomi,  dalam hal ini adalah perhitungan tahun atau almanak serta berbagai bentuk kesenian. Usaha Aji Saka ini terbukti berhasil dan menjadi terkenal hingga keluar Pulau Jawa yang kemudian banyak orang yang berdatangan ke Pulau Jawa hingga beberapa waktu kemudian Aji Saka pun kembali ke Surati setelah merasa cukup mengajarkan ilmu kepada penduduk Pulau Jawa.

 

Penggunaan kalender Saka tidak hanya digunakan oleh masyarakat Hindu India saja, namun juga digunakan oleh masyarakat Indonesia, dalam hal ini khususnya pulau Bali dan beberapa daerah di pulau Jawa, seperti di Tengger yang masyarakatnya masih banyak menganut agama Hindu, terutama ketika menentukan hari-hari besar. Aji Saka membagi perhitungan tahun menjadi dua macam, yaitu Suryasengkala dan Candrasengkala. Suryasengkala dipakai oleh masyarakat Jawa kuno sampai akhir Kerajaan Majapahit yaitu antara tahun 70 sampai 1400 Saka atau sekitar tahun 1478 Masehi. Sedangkan Candrasengkala sendiri kemungkinan baru dipakai oleh masyarakat Jawa pada masa setelah Islam masuk ke Pulau Jawa yaitu masa Walisongo diakhir Kerajaan Majapahit  dengan menggunakan tahun Hijriyah yang berbasis perhitungan tahun berdasarkan perputaran bulan terhadap bumi.

Kalender Bali
 
 

AJISAKA DAN AKSARA JAWA

Sejarah erat sekali dengan pembahasan tahun dan peristiwa. Hal tersebut merupakan cakupan disiplin ilmu sejarah mengenai dimensi temporal, oleh sebab itu penentuan sebuah tahun yang mengandung peristiwa tertentu sangatlah penting. Indonesia hingga saat ini memiliki sumber sejarah yang cukup bervariasi dalam penentuan angka tahun. Secara umum angka tahun yang terdapat di Indonesia merupakan pengaruh dari kebudayaan luar Indonesia yang datang ke Indonesia, misalnya tahun Çaka merupakan pengaruh dari budaya Hindu, tahun Masehi merupakan pengaruh dari budaya  Nasrani, sedangkan tahun Hijriyah merupakan pengaruh dari budaya Muslim.

 

Tidak hanya tahun Masehi dan Hijriyah yang terdapat di Indonesia, dalam catatan kuno seperti serat, babad, dan prasasti yang kebanyakan peninggalan dari Kebudayaan Hindu dan Budha memiliki tahun yang dikenal dengan nama Tahun Şaka. Di Jawa khususnya kepercayaan bahwa penciptaan tahun Şaka oleh tokoh Ajisaka sangatlah erat diyakini oleh masyarakat hingga saat ini. Timbullah pertanyaan mengenai tahun Şaka tersebut yang dinyatakan asli dari Jawa dan diciptakan oleh Ajisaka, termasuk juga dengan huruf Ho,No,Co,Ro,Ko, dst. Mengenai tokoh Aji Saka dari beberapa sumber tertulis :

1. Dari Babad Tanah Jawi, R.Ng. Ranggawarsita berpendapat bahwa tahun Jawa dimulai sejak manusia menempati tanah Jawa, dapat diartikan pada waktu itu Ajisakalah salah satunya yang datang ke tanah Jawa dan menciptakan tahun Şaka serta huruf Jawa (Olthof, 2007:146).

2.  Menurut Primbon Jayabaya (1931: 23-24) menyebutkan :   “Saka Sengkala anakipun empu Anggejali patutan saking Dewi Saka putranipun raja sarkeling pulo Najran, Jaka Sangkala sareng jumeneng ajejuluk Sang Ajisaka, jengkar saking nagarinipun, lajeng ngajawi, tapa wonten redi kandha tanah Banyuwangi, jejuluk prabu Sangkala utawi empu Sangkala”. (Saka Sengkala, putra Empu Anggejali, suami Dewi Saka, putra raja pulau Najran, Jaka Sangkala ketika bertahta disebut  Sang Ajisaka, pergi dari negaranya, dan kemudian, bersemedi di sebuah gunung di tanah Banyuwangi, dijuluki raja Sangkala atau penguasa Sangkala”.

3. Serat Witaradya (1922)  menceritakan jika ada ratu bernama Prabu Isaka dari tanah Hindhu dan pergi ke tanah Jawa..

 

Ada kejadian penting mengenai pengikut setia Ajisaka yang berseteru lantaran sama-sama setia terhadap perintah junjungannya (Ajisaka) dan mengakibatkan kematian terhadap kedua pengikut tersebut. Oleh sebab itu Ajisaka membuat pengingat untuk anak cucu (pangiling-iling) dengan lantang ia mengucapkan “Hana Caraka, Data Sawala, Padha Jayanya, Maga Bathanga” (ada utusan, sama-sama memegang perintah, sama saktinya, sama-sama jadi mayat).


Aksara Jawa


Dari sekelumit cerita tersebut dalam Babad tanah Jawi dapat diketahui Ajisaka tidak bermaksud  untuk menciptakan dasar huruf Jawa, tokoh Ajisaka dalam Babad Tanah Jawi hanya berpesan pada seluruh generasi penerus agar hal demikian tidak terulang dikemudian hari.

 

BACA JUGA :

1.   Aji Saka dan Sengkalan (3)

2.  Ramalan Prabu Jayabaya (4)

3.  Ramalan Sabdopalon (6)

4.  Ruang dan Wktu Continum (1)

5.  Filsafat Samkya, Perjalanan Sang Roh (3)

  

SUMBER :

Nusadwipa, Begawan Ariyanta, www//Budies.info, Gubuge Ki Lurah Petruk,  

Guruberguru, Kaskus, Kompasiana, Padepokan Walang Semirang, Sang Agni, Temu Konco, Wikipedia

Belum ada Komentar untuk "CANDRA SENGKALA, SEJARAH TAHUN SAKA (2)"

Posting Komentar

Add