CANDRA SENGKALA, AJI SAKA DAN SENGKALAN (3)

Kemunculan sengkalan di tanah Jawa diyakini bersamaan dengan masuknya perhitungan tahun Çaka (Saka) yang dibawa oleh tokoh legenda Aji Saka. Menurut teori ini, sengkalan berasal dari kata Çakakala, gabungan dari kata çaka dan kala, yang berarti perhitungan waktu menurut  Çaka  (tahun Çaka). Kata Çakakala kemudian  berubah menjadi sakala, sebelum menjadi sengkala atau sengkalan seperti yang kita kenal sekarang. Aji Saka  dikatakan dalam babad sebagai tokoh penyebar budaya tulis Jawa dan budaya pengenalan kalender Şaka. Diketahui evolusi aksara Jawa bermula dari aksara pallawa dari India dan kalender Şaka juga adopsi dari budaya India.

Ajisaka yang menentukan penambahan angka 78 jika kalender Şaka diequivalenkan dengan kalender masehi. Jadi dalam hal ini diduga masyarakat Jawa mengkhultuskan sosok Ajisaka sebagai pembaharu budaya Jawa melalui kalender dan huruf. Dan perlu diketahui pula bahwasanya penambahan kalender dari şaka ke masehi tidak hanya 78, hal ini harus ditambahkan 79 dalam bulan-bulan tertentu (Magha (+/-  Januari – Februari), Phalguna (+/-  Februari - Maret), atau pada tanggal 10 Suklapaktsa (dari setelah bulan mati  sampai menjelang purnama) - 15 Krsnapaktsa (hari setelah purnama sampai  menjelang bulan mati), bulan Posya (+/- Desember - Januari).  

     

Pembacaan angka tahun melalui candra sengkala harus sesuai makna untuk menguak data sejarah yang spesifik, karena salah pemaknaan angka biasanya dapat mengkaburkan peristiwa sejarah atau peninggalan sejarah.

 

 

Sengkalan ini masih dijumpai dan digunakan di Jawa, sedangkan di Bali, sebagai salah satu daerah pewaris budaya Majapahit, yang semestinya melestarikan budaya Majapahit, namun sengkalan sudah jarang dijumpai. Sebagai gantinya misalnya pada Lambang Provinsi Bali serta Kabupaten-Kabupaten di Bali,  hanyalah mencantumkan Motto, seperti :

Provinsi Bali memiliki motto “ Bali Dwipa Jaya”

Kabupaten Badung memiliki motto “Ҫura Dharma Raksaka” (“Kewajiban pemerintah adalah melindungi kebenaran’,)

Kabupaten Bangli memiliki motto “Bhukti Mukti Bhakti” mengandung arti “Sebagai suatu pengabdian berbakti kepada Tuhan dan Negara untuk mewujudkan cita-cita luhur yaitu masyarakat adil dan makmur”.

Kabupaten Buleleng adalah “Singa Ambara Raja”. Slogan atau motto ini “Melambangkan kelincahan dan semangat kepahlawanan rakyat kabupaten Buleleng”.

Denpasar merupakan ibu kota Provinsi Bali memiliki motto atau slogan “Purradhipa Bhara Bhavana”, yang memiliki makna kewajiban pemerintah adalah meningkatkan kemakmuran Rakyat,

Kabupaten Gianyar memiliki motto “Dharma Raksata Raksita” yang bermakna “Barang siapa yang berbuat Dharma, maka ia akan dilindungi oleh Dharma itu sendiri”.

Kabupaten Jembrana memiliki motto “Tri Ananta Bhakti” yang memiliki arti “Tiga pengabdian yang kekal”.

Kabupaten Karangasem dengan motto  “Raksakeng Dharma Prajahita” yang mengandung arti “Berkat perlindungan dharma atau agama untuk mencapai kesejahteraan rakyat”,

Kabupaten Klungkung memiliki motto “Dharmaning Ksatrya Mahottama” yang memiliki arti “Kewajiban seseorang berjiwa ksatria sungguh mulia”.

Kabupaten Tabanan memiliki motto “Sadhu Mawang Anuraga” yang berarti “Damai dan bijaksana dalam menjalankan Dharma demi kecintaan pada rakyat”.

 

PENGGUNAAN DAN PENURUNAN KATA

Struktur katanya dalam sengkalan dapat berupa kalimat atau sekadar susunan kata-kata biasa tanpa membentuk sebuah kalimat. Makna kalimat atau susunan katanya dapat menggambarakan keadaan pada masa itu, untuk memperingati peristiwa tertentu, peringatan untuk peristiwa pribadi seseorang dll. Pada jaman dahulu masyarakat Jawa menggunakan Sengkalan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti :

1. Pada  bangunan rumah, pintu gerbang, kuburan, gapura, tugu, dan bangunan-bangunan lainnya. . Misalkan pada Menara Kudus tertulis  Gapura Rusak Ewahing Jagad yang menggambarkan kondisi sosial-politik Kerajaan Demak yang kacau ketika itu yaitu tahun 1609.

2.  Pada karya-karya sastra jawa, benda-benda bersejarah, karya seni,

3.  Lambang/simbol suatu kota, lembaga atau organisasi,

4.  Surat-surat jaman dahulu juga menggunakan Sengkalan untuk menyatakan kala atau waktu tahun penulisannya. Sering digunakan sebagai peringatan peristiwa-peritiwa penting yang terjadi disuatu masa yang dapat bermakna sebagai penggambaran terhadap kondisi politik, sosial, atau juga bermakna do’a harapan,  

5.  Peringatan kelahiran,  kematian seseorang dan sebagainya.

6. Do’a atau harapan sebenarnya sangat sedikit sekali ditemukan, sebagai contoh adalah Suryasengkala Dresthi Sirna Nir Sikara yang mengandung makna do’a atau harapan agar segala bentuk penghianatan terhadap bangsa Indonesia ini hilang dan hilang pula campur tangan asing yang turut serta menyusup dan menyebabkan kesengsaraan rakyat.

7.  Sindriran yang bermakna positif kepada pemerintah dan wakil-wakil rakyat agar tetap konsisten terhadap tugasnya sebagai wakil rakyat penyalur aspirasi rakyat untuk mensejahterakan kehidupan bangsa. Misalnya Marganing Karta Trus dening Sujanma yang bermakna “sebab/jalannya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat akan terpenuhi oleh orang-orang baik dan berpendidikan dalam hal ini adalah pemerintah dan wakil-wakil rakyat.

                 TEORI PAST LIFE REGRESSION, Klik Disini

Meski susunan kata atau kalimat yang sudah dibuat tidak memiliki makna atau keterkaitan, sebaiknya tidak memiliki pertentangan dengan peristiwa yang terjadi pada tahun bersangkutan. Pada awalnya penyusunan kaka-kata yang digunakan dalam Sengkalan berasal dari bahasa Sansekerta. Saat ini penyusunan kata-katanya telah banyak menggunakan bahasa Jawa baru yang diturunkan dari bahasa Sansekerta yang telah banyak mengalami perubahan pada pengucapannya namun watak bilangannya tidaklah berubah dan tetap menggunakan pakem bahasa Sansekerta.


"TIKA", Kalender Bali 

Dalam  penyusunan sengkalan ada 8 dasar/pegangan, yaitu:

1. Guru Dasanama atau dasar sepadan yang berarti kata yang sama atau hampir sama adalah sama pula wataknya seperti: segara(laut), tirta (tirta), bun (embun), dan sebagainya.

2. Guru Sastra atau dasar penulisan yang berarti kata yang sama penulisannya adalah sama pula wataknya seperti: esthi (berwatak 8) atau asti yang berarti gajah.

3. Guru Wanda atau dasar sesuku kata yang berarti kata yang pengucapannya sama adalah sama seperti suku kata  utawaka menjadi uta karena dikurangi suku katanya, kata buja menjadi bujana karena ditambahi suku katanya dan tata menjadi tinata karena disisipi suku katanya.

4. Guru Warga atau dasar sejenis yang berarti kata yang dianggap sejenis atau sebangsa adalah sama juga wataknya seperti: uta yang berarti lintah menjadi ujel yang berarti belut.

5. Guru Karya atau dasar sekerja yang berarti cara berlakunya sebuah kata dianggap sama wataknya dengan apa yang dilakukan sebuah kata tersebut seperti: netra atau mata memiliki watak yang sama dengan kata mandeng atau melihat karena salah satu yang dilakukan netra atau mata adalah mandeng atau melihat.

6. Guru Sarana atau sealat yang berarti sebuah alat yang digunakan untuk mengerjakan sesuatu adalah sama wataknya dengan sesuatu yang dikerjakan itu seperti: panah adalah alat untuk pancakarna atau berperang adalah memiliki watak yang sama dengan pancakarna itu sendiri atau sama juga dengan kata perang.

7.  Guru Darwa atau sekeadaan yang berarti kata yang memiliki sifat dan keadaan yang sama adalah sama wataknya dengan sifat dan keadaan itu seperti: geni atau api memiliki watak yang sama dengan kata benter yang berarti panas, karena api memiliki sifat atau keadaan panas dan sama pula dengan murub atau berkobar karena api juga memiliki sifat atau keadaan yang berkobar.

8. Guru Jarwa atau searti yang berarti kata-kata yang memiliki arti sama atau hampir sama adalah sama pula wataknya meski sebenarnya menyimpang atau berlainan dengan arti yang sebenarnya seperti: rasa adalah sama wataknya dengan rinaras atau seras.

 

 

BACA JUGA :

1.    Penyusunan Candrasengkala (4)

2.    Ciri-Ciri Masa Kaliyuga (3)

3.    Energi dan Dinamisme

4.    DwarawatiKota Yang Hilang

5.   TantraPemujaan Kepada Shakti

 

SUMBER :

Nusadwipa, Begawan Ariyanta, www//Budies.info, Gubuge Ki Lurah Petruk, , Guruberguru, Kaskus, Kompasiana, Padepokan Walang Semirang, Sang Agni, Temu Konco, Wikipedia

Belum ada Komentar untuk "CANDRA SENGKALA, AJI SAKA DAN SENGKALAN (3)"

Posting Komentar

Add